
Kuningan, Rajawali Sriwijaya – Seorang ibu muda asal Kabupaten Kuningan meninggal dunia usai menjalani operasi caesar di salah satu rumah sakit swasta di wilayah Ciawigebang, Kabupaten Kuningan, pada Selasa, 6 Mei 2025. Pihak keluarga merasa kecewa dan mempertanyakan perubahan jadwal operasi yang dilakukan secara sepihak serta minimnya penjelasan medis selama proses berlangsung.
Korban, dalam keadaan sehat dan sedang mengandung anak ketiga, telah menjalani serangkaian pemeriksaan ultrasonografi (USG) sejak awal tahun. Berdasarkan hasil konsultasi terakhir pada April 2025, korban disarankan menjalani operasi caesar pada usia kehamilan 38 minggu, dengan jadwal yang telah ditentukan oleh dokter untuk datang ke rumah sakit pada Selasa pagi, 6 Mei 2025, guna menjalani operasi di malam harinya.
Namun, begitu tiba di rumah sakit pada hari yang telah dijadwalkan, pihak keluarga mulai merasakan sejumlah kejanggalan. Setelah melakukan pendaftaran dan pemeriksaan awal di Unit Gawat Darurat (UGD), korban dibawa ke ruang kebidanan tanpa penjelasan yang memadai. Selang beberapa waktu, keluarga mendapati korban sudah mengenakan pakaian bedah dan dipindahkan menggunakan kursi roda menuju ruang intensif.
“Saya dan keluarga tidak diberi tahu kalau istri saya akan langsung dioperasi siang itu. Kami baru sadar setelah melihat beliau sudah berada di kursi roda dengan pakaian operasi,” ujar suami korban, yang menemani sejak awal.
Sebelumnya, dokter menyampaikan bahwa operasi akan dilakukan malam hari setelah korban menjalani puasa. Namun tanpa adanya komunikasi lanjutan, operasi dilakukan justru sekitar pukul 12.00 WIB siang hari itu.
Selama operasi berlangsung, pihak keluarga semakin cemas. Seorang dokter kemudian keluar dari ruang bedah dan menyampaikan kepada suami korban bahwa operasi mengalami komplikasi. “Pak, ini istri Bapak plasentanya nempel ke rahim. Harus kita angkat rahimnya,” ucap dokter kepada suami korban.
Suami korban, dalam kondisi tertekan dan cemas, mengiyakan tindakan medis tersebut demi menyelamatkan nyawa istri dan anaknya. Ia juga mengaku teringat bahwa dokter sebelumnya pernah menyebutkan bahwa karena ini kehamilan ketiga dan riwayat dua kali caesar, maka rahim berisiko tinggi dan kemungkinan tidak bisa dipertahankan.
Namun kekhawatiran keluarga semakin menjadi saat proses operasi memakan waktu lebih lama dari yang dibayangkan. Terlihat dokter keluar masuk ruang bedah dengan ekspresi panik. Dugaan pendarahan hebat pun muncul, terlebih ketika tim medis meminta pihak keluarga mengambil darah sebanyak tujuh kantong dari PMI Kuningan dalam dua tahap.
Di tengah situasi yang semakin genting, seorang dokter kembali menyampaikan kabar kepada suami korban. “Sekarang Bapak berdoa saja. Yang penting kan bayinya selamat,” ucap sang dokter. Namun jawaban itu membuat suami korban kecewa dan merasa tidak dihargai sebagai keluarga pasien.
“Saya bilang ke dokter: bukan hanya bayinya saja, istri saya juga harus selamat. Istri saya datang ke rumah sakit dalam keadaan sehat,” ujarnya penuh emosi.
Dokter kemudian menimpali, “Ya, Pak, kemungkinan besar ibunya bisa meninggal.”
Kondisi korban terus memburuk. Ia tidak sadarkan diri dan harus dipasangi alat bantu pernapasan. Dokter lalu menawarkan prosedur tambahan berupa pemasangan selang ke mulut, dengan alasan gangguan pernapasan dan pendarahan yang tidak terkendali.
“Kalau tidak dilakukan sekarang, bisa makin parah,” ucap dokter yang kembali menekankan bahwa ini keputusan mendesak. Suami korban, yang saat itu sudah sangat lelah secara fisik dan emosional, menyetujui tindakan tersebut tanpa sempat membaca atau memahami isi surat persetujuan operasi lanjutan yang diminta untuk ditandatangani.
Selang waktu berjalan, keluarga diminta menunggu di luar ruang ICU. Tak lama kemudian, salah satu dokter memanggil dan meminta perwakilan keluarga untuk menyaksikan prosedur kejut jantung terakhir. Suami korban menolak karena tidak sanggup melihat langsung, sehingga ibunda korban dan adik suami korban yang masuk.
Tak berselang lama, seorang dokter menyampaikan kabar duka tersebut.
“Sudah kami lakukan semua prosedur, kami tekan dadanya, kami coba kejut listrik, tapi tidak ada reaksi. Kalau terus ditekan bisa patah tulang dadanya. Kami mohon maaf, istri Bapak tidak tertolong,” ujarnya.
Korban dinyatakan meninggal dunia sekitar pukul 21.00 WIB. Suami korban menyatakan bahwa sejak awal prosedur penanganan terlihat tidak profesional dan komunikasi sangat minim. Ia menyayangkan perubahan jadwal operasi yang tidak disampaikan lebih awal, serta ketidaksiapan rumah sakit dalam menangani komplikasi.
“Saya kecewa terhadap rumah sakit ini. Tidak ada itikad baik dari awal hingga akhir. Semua berjalan tanpa kami tahu apa-apa,” tuturnya.
Keluarga korban meminta kejelasan dan pertanggungjawaban dari pihak rumah sakit. Mereka menegaskan bahwa tindakan medis harusnya disampaikan dengan jujur dan jelas, tidak hanya dalam kondisi darurat.
Kepada tim media Rajawalinews.online, pada Jumat, (13/06/2025) di kediamannya, suami almarhumah menyampaikan kesedihannya yang mendalam atas peristiwa yang menimpa istrinya serta kekecewaan terhadap pelayanan medis yang diterima di rumah sakit. Ia berharap kejadian serupa tidak dialami oleh pasien lain, dan meminta adanya kejelasan serta tanggung jawab dari pihak rumah sakit.
Tim redaksi Rajawalinews akan terus menelusuri kasus ini dengan menggali informasi dari berbagai pihak, termasuk pengurus rumah sakit, dokter penanggung jawab, serta pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Kuningan.(Redaksi/G)
Leave a Reply