Advertisement

Kebocoran Retribusi Disperindag Lubuk Linggau: Rp128 Juta Tak Masuk Kas Daerah, Ribuan Pedagang Tak Dipungut Resmi


LUBUK LINGGAU — Dugaan kebocoran pendapatan daerah kembali menyeruak di tubuh Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Lubuk Linggau. Berdasarkan hasil pemeriksaan atas pengelolaan retribusi tahun anggaran 2023, ditemukan adanya pemungutan retribusi yang tidak sesuai ketentuan dan sebagian tidak disetor ke kas daerah sebesar Rp128.050.000.

Data resmi menunjukkan, dari total anggaran pendapatan retribusi daerah sebesar Rp8,96 miliar, realisasi yang tercapai hanya Rp5,71 miliar atau 63,80%. Dari angka itu, Disperindag menyumbang Rp2,42 miliar dari target Rp2,91 miliar, dengan tingkat realisasi 83,15%. Namun capaian ini ternyata menyimpan persoalan serius di lapangan.

Temuan pemeriksa menyebutkan, retribusi pelayanan pasar kios/los/hamparan/pelataran dipungut dengan tarif jauh di bawah ketentuan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13 Tahun 2019.
Padahal Perda tersebut telah menetapkan tarif resmi sebesar:

Kios: Rp40.000/m²/bulan

Los: Rp20.000/m²/bulan

Hamparan: Rp15.000/m²/bulan

Namun faktanya, Disperindag hanya memungut sebesar Rp6.500/m²/bulan, dengan dalih menyesuaikan kemampuan pedagang kecil. Lebih parah lagi, pungutan tersebut masih mengacu pada Perda lama Nomor 8 Tahun 2011 — yang sudah tidak berlaku — sehingga bertentangan dengan aturan hukum yang sah.

Selain tarif yang tidak sesuai, ribuan pedagang bahkan belum dipungut retribusi sama sekali. Dari 1.075 kios, los, lapak, dan hamparan yang terisi, hanya 10 unit yang diterbitkan Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD). Artinya, sebanyak 1.065 unit lainnya belum membayar retribusi meskipun sudah beroperasi aktif di area pasar.

Sistem administrasi juga amburadul. SKRD hanya diterbitkan jika pedagang mengajukan permohonan sendiri ke Unit Pelaksana Teknis (UPT), bukan secara otomatis oleh dinas. Hal ini membuka ruang lebar untuk kebocoran, pungutan tidak resmi, dan lemahnya pengawasan dari pejabat terkait.

Keterangan dari pejabat internal Disperindag pun terkesan saling lempar. Kepala UPT dan Kepala Bidang Sarana berdalih bahwa tarif rendah diterapkan “demi membantu pedagang kecil.” Namun alasan sosial ini tak bisa menutupi fakta bahwa disiplin fiskal daerah telah dilanggar dan potensi kerugian daerah mencapai ratusan juta rupiah.

Sejumlah pengamat kebijakan publik menilai praktik semacam ini bukan lagi soal teknis, melainkan indikasi lemahnya integritas aparatur dalam mengelola sumber pendapatan daerah. Bila dibiarkan, kebocoran semacam ini berpotensi menular ke sektor lain dan menggerogoti keuangan daerah secara sistematis.

Masyarakat menanti langkah tegas Wali Kota Lubuk Linggau dan Inspektorat Daerah untuk menindak pejabat yang terlibat serta memastikan seluruh retribusi dipungut dan disetorkan sesuai aturan.
Sebab, setiap rupiah yang bocor dari kas daerah adalah hak publik yang dirampas secara halus.

(red)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *