Menteri Sekretaris Negara, Pratikno, yang sebelumnya dikenal sebagai Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan reputasi akademik yang cemerlang, kini menghadapi tudingan sebagai operator politik Presiden Joko Widodo (Jokowi). Tudingan ini mencuat seiring dengan perannya dalam berbagai manuver politik yang dianggap melampaui batas kewenangannya sebagai Menteri Sekretaris Negara.
Dalam sebuah opini yang diterbitkan oleh Tempo pada Februari 2024, Pratikno disebut telah berperan aktif dalam melobi hakim konstitusi untuk memuluskan jalan bagi Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, menjadi calon wakil presiden meskipun belum memenuhi syarat usia yang ditetapkan. Selain itu, ia juga dituding membujuk partai-partai politik agar menerima Gibran sebagai calon pendamping Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden.
Editor Senior Tempo, Bagja Hidayat, mengkritik tindakan Pratikno yang dianggap mengkhianati nilai-nilai akademis dan etika yang seharusnya dijunjung tinggi oleh seorang intelektual. Bagja menyoroti bahwa alih-alih mengingatkan Jokowi untuk tidak terjerumus dalam upaya melanggengkan kekuasaan, Pratikno justru menjadi aktor utama yang mewujudkan ambisi tersebut.
Selain keterlibatannya dalam manuver politik terkait pencalonan Gibran, nama Pratikno juga disebut dalam kasus korupsi pengadaan menara pemancar internet (BTS) di Kementerian Komunikasi dan Informatika. Dalam kasus ini, Pratikno diduga menjadi perantara antara kontraktor proyek dan pihak-pihak terkait lainnya, yang menimbulkan pertanyaan mengenai integritas dan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi.
Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Pratikno ini dianggap melampaui kewenangannya sebagai Menteri Sekretaris Negara, sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 31 Tahun 2020 tentang Kementerian Sekretariat Negara. Peraturan tersebut membatasi tugas dan fungsi Menteri Sekretaris Negara pada urusan teknis pemerintahan, dan tidak mencakup lobi politik atau intervensi dalam proses hukum.
Kritik terhadap Pratikno ini menyoroti pentingnya menjaga integritas dan etika dalam menjalankan tugas pemerintahan, terutama bagi mereka yang berasal dari latar belakang akademis dan intelektual. Peran sebagai pejabat publik seharusnya dijalankan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai transparansi, keadilan, dan kepatuhan terhadap hukum, bukan sebaliknya.
Source : Tempo
Leave a Reply