
Bolaang Mongondow | Rajawali Sriwijaya_Sulut – Masyarakat Desa Otam, Kecamatan Passi Barat, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, mengungkapkan kekecewaan mendalam terhadap dugaan pelanggaran serius dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, khususnya terkait program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) dan pengelolaan Dana Desa.
Sorotan tajam ditujukan pada pelaksanaan program TJSL dari PT PLN UPT Manado senilai Rp311.250.000, yang dialokasikan untuk pengadaan bibit vanili. Diduga kuat, Kepala Desa Otam bertindak langsung sebagai penyedia bibit, sehingga menimbulkan konflik kepentingan. Hal ini dianggap sebagai pelanggaran terhadap Pasal 17 dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang secara tegas melarang pejabat publik membuat keputusan jika memiliki benturan kepentingan.

Tak hanya itu, terdapat laporan penghancuran bibit vanili yang seharusnya digunakan sebagai bantuan produktif. Jika terbukti, tindakan ini berpotensi melanggar Pasal 406 KUHP tentang perusakan barang dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, karena berkaitan dengan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.
Warga juga menyoroti proyek pembangunan desa yang terhenti meski dana dari Anggaran Dana Desa telah dicairkan dalam dua tahap. Kasus ini menjadi perhatian karena diduga melanggar Pasal 26 dan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang mengatur kewajiban kepala desa dalam mengelola keuangan desa secara transparan dan akuntabel. Dugaan penyalahgunaan kewenangan ini dapat masuk dalam ranah pidana korupsi.

“Ini bukan hanya soal moralitas, tapi soal hukum yang dilanggar secara terang-terangan,” kata seorang tokoh masyarakat yang enggan disebut namanya.

Lebih lanjut, warga juga mempertanyakan keabsahan pemberhentian sejumlah perangkat desa yang dinilai tanpa prosedur yang sah. Tindakan ini bertentangan dengan Permendagri Nomor 67 Tahun 2017, yang mengatur mekanisme pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa harus berdasarkan evaluasi dan alasan yang jelas serta tertulis.
Masyarakat secara kolektif mendesak Kejaksaan Negeri Kotamobagu dan Bupati Bolaang Mongondow untuk segera melakukan penyelidikan dan penindakan hukum terhadap dugaan pelanggaran ini.
“Negara harus hadir dalam mengawal hukum hingga ke desa. Kami menuntut keadilan, bukan janji,” tegas warga.
(Abo’ Mokoginta )
Leave a Reply